BANDUNG- Para
pembeli sawit di pasar internasional menuntut lebih atas produk yang
dibelinya. Untuk memenuhi tuntutan itu, Roundtable on Sustainable
Palm Oil (RSPO) menambah aturan baru dalam pinsip dan kriteria yang
harus dipenuhi pemilik sertifikat RSPO (certified sustainable palm
oil/CSPO), yakni dengan program penelusuran (traceability) hingga ke
pabrik (mills).
Khor Yu Leng, analis komoditas dari Khor
Reports, menuturkan, standar sawit lestari (keberlanjutan) yang
dibuat RSPO akan dibuat lebih mendetil. Unsur penelusuran akan
ditingkatkan hingga ke pabrik kelapa sawit (PKS), artinya bukan hanya
sawit yang diolah berasal dari budidaya yang berkelanjutan seperti
bukan dari hasil pembukaan hutan, namun sawit yang diproduksi telah
mempertimbangkan unsur sumber daya manusia (SDM) dan sosial secara
lebih baik.
"Ini harus
diperhatikan bagi para produsen atau perusahaan sawit, terutama
Indonesia dan Malaysia," kata dia saat 10th Indonesian Palm Oil
Conference and 2015 Outlook (IPOC 2014) yang bertema Transforming
Palm Oil Industry, Enhancing Competitiveness di The Trans Luxury
Hotel, Bandung, Jumat (28/11).
Khor Yu Leng menuturkan,
sertifikasi global seperti dilansir RSPO memang penting bagi produsen
atau perusahaan sawit karena itu akan bisa membuka akses pasar dan
sarana negosiasi. Apalagi, mayoritas pembeli sawit besar di dunia
juga ikut masuk ke dalam RSPO. "Namun demikian, dengan
bertambahnya aturan tentu akan membawa konsekuensi bagi produsen atau
perusahaan sawit, terutama dari sisi biaya yang harus dikeluarkan.
Karena apapun yang dilakukan dan dikeluarkan perusahaan harus
diketahui Komite RSPO," kata dia.
Menurut dia, ada
keinginan para pembeli sawit di pasar global yang ingin ditunjukkan
pada konsumennya, di antaranya bahwa 50% bahan dalam produk yang
dijual bisa diakses unsur keberlanjutannya dari sisi lingkungan.
Misalnya, memenuhi besaran emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditentukan
dan tidak berada pada zona hotspot (titik kebakaran hutan). "Hal
ini tentu akan mempengaruhi pasar fisik minyak sawit ke depannya,"
ungkap dia.
Leng mengatakan, RSPO pun memiliki target-target
tertentu di masa depan. Pada 2025, RSPO akan menjadikan perusahaan
sawit di Sabah, Malaysia, telah sepenuhnya atau 100% memenuhi RSPO.
Akan ada kompensasi dana yang harus dikeluarkan pemilik sertifikat
RSPO misalnya untuk penanaman kembali atau menjalankan agroforestry
sebesar US$ 3.000 per hektare (ha) kali 0,7. "Kompensasi dana
yang dihitung per ha seperti ini nantinya tidak akan terlalu
menggerakkan pasar sawit," kata dia.
Menurut dia, RSPO
merupakan sertifikat yang bersifat sukarela, ada juga sertifikat lain
yang sejenis seperti ISCC di Uni Eropa. Umumnya, lembaga-lembaga itu
menspesifikasikan dari bagi perusahaan-perusahaan sawit besar. Untuk
itu, pemerintah dari produsen sawit hendaknya bisa terlibat di dalam
lembaga-lembaga seperti itu agar perusahaan skala kecil atau petani
bisa mendapatkan sertifikasi global tersebut. (*)
Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Berita Terkait