JAKARTA, investor.id - Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pelaksanaan wajib penggunaan biodiesel campuran 30% (B30) dimulai Januari tahun 2020. Atau, sesuai jadwal awal. Meski sebelumnya, pelaku usaha berharap pelaksanaan wajib B30 dapat terlaksana lebih awal, di tahun 2019.
Darmin mengatakan, kebijakan perluasan pemanfaatan sawit sebagai bahan bakar dengan B30 bakal memberi dampak yang lebih luas. Tidak hanya bagi perekonomian nasional, tapi juga untuk perbaikan kesejahteraan petani sawit.
"Laporan dari Kementerian ESDM, hasil uji jalan B30 tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari kebijakan yang telah berjalan. Sehingga, mulai Januari tahun depan pemerintah bersiap akan menjalankan kebijakan B30," kata Darmin dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat (6/9).
Bahkan, lanjut Darmin, pemerintah telah merencanakan tahapan selanjutnya.
"Jika green biofuel sudah dapat diproduksi, green diesel akan diolah sebagai bahan bakar nabati. Misalnya Produksi B50, yang merupakan campuran B30 dan D20. Dengan demikian, lambat laun kita dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM. Sekaligus, mengantarkan kelapa sawit berjaya sebagai komoditas primadona Indonesia di pasar global," kata Darmin.

Pemerintah telah mewajibkan mandatori B20. Dimulai di segmen PSO sejak tahun 2016, lalu diperluas ke segmen non PSO mulai bulan September 2018.
Kebijakan itu, ditujukan untuk menekan impor migas dan defisit transaksi perdagangan. Disebutkan, mandatori B20 berhasil menurunkan impor solar secara signifikan. Dan, implementasi pelaksanaan B20 tahun 2019 dilaporkan mencapai rata-rata 97,5%.
Green fuel
Sementara itu, Pusat Rekasaya Katalisis Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama dengan Pertamina Research and Technology Centre (RTC) mengembangkan katalis khusus yang akan menjadi pendorong diproduksinya green fuel berbasis minyak sawit.
Katalis bernama BIPN tersebut diklaim mampu memproduksi bahan bakar beroktan 90-120, dapat disesuaikan dengan kebutuhannya. Katalis adalah salah komponen penting dalam proses pengolahan minyak bumi. Yang selama ini masih banyak tergantung dari impor.
"Hasil pengembangan katalis Laboratorium ITB ini juga bisa diarahkan sebagai substitusi impor yang akan menghemat devisa negara. Karena itu, Pemerintah sangat menghargai Perguruan Tinggi yang telah mengembangkan komoditas lokal seperti CPO menjadi green fuel yang setara dengan Solar atau Pertamax. Proses ini tentunya akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Namun, di masa depan akan mengurangi ketergantungan kita terhadap impor BBM,” kata Darmin saat meninjau Laboratorium Teknik Reaksi Kimia ITB di Bandung, Jumat (6/9).
Dia mengharapkan, ITB dapat mengembangkan katalis khusus secara komersial. Yang akan menjadi pendorong diproduksinya green fuel berbasis CPO.
"Tentunya ITB dapat bekerja sama dengan dunia usaha seperti PT Pertamina (Persero). Sehingga, hasil penelitian berupa katalis dapat diimplementasikan di kilang Pertamina," ujar Darmin.
Di sisi lain, Darmin mengimbau, kementerian terkait, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Pertamina, serta BUMN lainnya mendukung penuh penelitian dan pengembangan bahan bakar nabati (BBN). Seperti, yang telah dilakukan ITB bersama Pertamina RTC.
"Dengan demikian, industri biohidrokarbon nasional untul mendukung ketahanan energi, dapat diwujudkan. Sebagai langkah awal, sudah ada komitmen dari 10 perusahaan sawit untuk membangun green refinery. Yang akan memproduksi green biofuel di dalam negeri," kata Darmin.
Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Baca berita lainnya di GOOGLE NEWS