JAKARTA, investor.id - Pemerintah terus memperhatikan sejumlah faktor dalam perekonomian global di tengah upaya memulihkan perekonomian nasional. Peningkatan inflasi di Amerika Serikat bisa mendorong kenaikan tingkat suku bunga The Fed.
Inflasi di AS terus menguat bahkan mencapai 4,2% pada April 2021. Hal tersebut diperkirakan bisa menggerus pemulihan dan menambah normalisasi moneter yang cepat.
“Inflasi di Amerika terus menguat, ekspektasi inflasi ini yang kita waspadai dapat dan sudah mulai menunjukan kekhawatiran di pasar. Walaupun belakangan ini mulai membaik, dikhawatirkan ekspektasi inflasi ini akan mendorong The Fed mulai menaikan tingkat suku bunga,” ucap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu dalam media briefing yang berlangsung secara virtual, Jumat (4/6).

Pada saat yang sama juga masih terjadi risiko proteksionisme dimana terjadi ketidaksinkronan antara perekonomian negara besar seperti Amerika dan Tiongkok. Kebijakan negara ini dinilai belum berjalan sinkron
“Dengan demikian ini menjadi risiko bagi perekonomian khususnya emerging economy seperti Indonesia,” ucapnya.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Hidayat Amir mengatakan semua negara termasuk Amerika tentu akan kembali melakukan normalisasi kebijakan pasca pandemi nanti. Tentu Indonesia harus mewaspadai normalisasi tersebut. Dalam konteks kebijakan pemerintah membuat kebijakan terukur dengan forward looking secara baik.
“Pemerintah melakukan signaling mengkomunikasikan ke publik tentang ketidakpastian yang ada,” ucap Amir.
Pemerintah sendiri tengah menyiapkan Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022. KEM PPKF ini menjadi menjadi bentuk penilaian terhadap kondisi ekonomi makro yang sedang terjadi dan estimasi atau proyeksi yang akan terjadi.
“Kalau pandeminya makin terkendali,artinya aktivitas ekonomi akan mulai pulih dan ini harus sekuensial. Tidak bisa kita pulihkan aktivitas ekonomi sementara pandemi belum bener-bener aman,” ucap Amir.

Senior Vice President-Economist Bank Permata, Josua Pardede mengatakan dalam menyikapi risiko kebijakan The Fed maka APBN dirancang secara fleksibel untuk tetap prudent. Khususnya untuk tetap menjaga kepercayaan investor.
Hal ini terlihat dari langkah pemerintah menangani Covid-19 serta kebijakan pemulihan ekonomi nasional. Ia mengatakan sudah ada beberapa negara berkembang dan maju yang saat pandemi ini mengalami penurunan rating dari lembaga pemeringkat.
“Tetapi kita harapkan dengan fundamental yang tetap kita jaga diharapkan memitigasi risiko dari taper tantrum. Bagaimana indikator rasio utang, likuiditas inflasi, stabilitas rupiah hingga cadangan devisa. Dengan indikator yang terjagai investor akan cenderung percaya dan yakin,” ucapnya.
Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Berita Terkait